translated to :

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Jumat, 27 Januari 2012

Antara Al-Shabir, Al-Mashabir, dan Al-Shabur

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

1
Nabi Ayub AS adalah orang yang paling sabar di dalam Alquran. Ia dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit aneh. Sekujur tubuhnya hancur dan membusuk. Bukan hanya itu, luka di sekujur tubuhnya dikerumuni belatung.

Akibatnya, ia dipencilkan oleh masyarakat, termasuk oleh istri yang selama ini mendampinginya. Ia dibuang jauh di luar perkampungan di sebuah pegunungan. Ia hidup di dalam sebuah gua yang gelap dan sepi.

Di dalam gua itu Nabi Ayub menghabiskan waktunya seorang diri. Di dalam kesendiriannya inilah Nabi Ayub pernah bersumpah, seandainya Allah memberikan kesembuhan, maka niscaya ia akan menccambuk istrinya karena tega membuang dirinya di tempat yang sepi.

Suatu ketika, ia termenung dan memandangi belatung yang sedang menggerogoti tubuhnya. Ia tiba-tiba berubah pandangan terhadap belatung-belatung yang menggerogoti tubuhnya. Ia menjadikan belatung-belatung tersebut sebagai temannya.

Ia berujar, "Wahai para belatung, sahabatku, makanlah sepuas-puasnya dagingku karena kalian semua sekarang sudah menjadi sahabatku. Kalau hari-hari yang lampau kalian kuanggap musuhku, kemana-mana aku mencari tabib untuk memusnahkan kalian, maka sekarang satu-satunya yang bersedia menemaniku di kegelapan malam di dalam gua ini hanyalah kalian. Semua orang, termasuk anggota keluargaku, membuang aku di tempat yang jauh ini."

Konon, belatung yang terjatuh pada saat ia beribadah diangkat lagi naik ke badannya karena begitu sayangnya Nabi Ayub terhadap belatung itu. Belatung-belatung itu seperti menjadi binatang kesayangannya. Kalau dahulu gigitan belatung itu menyakitkan, kini ia tidak merasakan rasa sakit. Kalau dahulu ia jijik dan benci, kini ia menyukai dan menyayangi belatung itu. Ini menjadi pelajaran bahwa perubahan paradigma dan persepsi ternyata bisa memengaruhi perasaan seseorang. Dari rasa yang amat sakit menjadi berkurang sakitnya, bahkan mungkin menjadi kenikmatan tersendiri.

Setelah sekian lama Allah SWT menguji Nabi Ayub, maka suatu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk melakukan sesuatu,"Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad: 42). Setelah Nabi Ayub memukulkan kakinya ke tanah, maka tiba-tiba muncratlah aliran air jernih dan sejuk dari bekas tumit Nabi Ayub.

Nabi Ayub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar di dalam dirinya. Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah kemana. Bahkan bekas-bekas luka pun tidak tampak pada diri Nabi Ayub. Ia lalu bersujud kepada Allah SWT dan bersyukur atas berakhirnya cobaan yang ia alami.

Peristiwa memancarnya air dari pukulan kaki mengingatkan kita pada Nabi Ismail yang juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba keluar mata air yang kini menjadi sumur Zamzam. Hanya bedanya, sumur Zamzam dirawat dengan baik. Sedangkan sumur Nabi Ayub yang terletak sekitar dua jam dari kota Damaskus, dekat dari makam Imim Al-Nawawi, pengarang kitab Riyadh al-Shalihin, tidak terurus dengan baik.



Ketika penulis berkunjung ke sumur ini, baru saja dipugar oleh seorang Kanada yang mengaku kakinya yang “korengan” tidak bisa sembuh, tiba-tiba sembuh setelah mencucinya dengan air sumur itu. Ia kembali ke kota kecil ini membangun tembok dan pagar di sekeliling sumur Ayub.

2

Ketika Nabi Ayub masuk kembali ke perkampungan di dalam kota dengan wajah tampan seperti semula, maka semua orang memujanya, termasuk istrinya. Namun, karena sudah terlanjur bersumpah akan mencabuk istrinya kalau ia kembali sembuh, maka ia diminta Allah SWT untuk menunaikan sumpahnya tanpa menimbulkan rasa sakit pada istrinya.

"Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44).

Yang menarik untuk diperhatikan dari kisah ini ialah, Allah SWT menyebut Nabi Ayub sebagai orang yang shabir, bukan mashabir, atau shabur. Di dalam Alquran ada tiga istilah yang sering digunakan Allah, yaitu shabir, mashabir, dan shabur.

Meskipun ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang sama (shabara), namun ketiganya membentuk makna berbeda satu sama lain. Kata shabir menunjukkan kepada orang yang sabar, tetapi kesabarannya masih temporer. Sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap.

Sedangkan kata mashabir berarti orang yang sabar dan kesabarannya bersifat permanen. Kalau ada orang yang membatasi kesabaran dalam kurun waktu tertentu, seperti ungkapan “tapi kesabaran kan punya batas”, maka orang itu belum masuk kategori mashabir. Sedangkan shabur hanya berlaku untuk Allah SWT. Karena itu, salah satu sifat Allah yang ditempatkan dalam asma’ yang terakhir ialah al-Sabur.

Hanya Allah SWT yang dapat disebut shabur (setimbang fa’ul atau fa’il) yang tidak akan pernah mungkin dapat dilakukan oleh makhluknya. Seperti Al-Rahim (Maha Penyayang), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Halim (Maha Lembut), dll.

Allah SWT disebut Al-Shabur karena Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya. Sekufur dan sezalim apa pun hambanya, Ia tetap tidak bergeming dan tetap bersedia untuk memaafkannya. Ini buktinya bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih-Penyayang daripada Tuhan Maha Penyiksa dan Pendendam.

Nabi Ayub disebut shabir, menurut ulama tasawuf (isyari) karena ia menjalani ujian penderitaan itu hanya sebentar. Karena penderitaannya diubah menjadi kenikmatan. Bagi seorang Ayub, tidak peduli apakah itu shabir atau mashabir, yang penting ia menjalani kehidupan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Pengatur.

3
Kalangan ulama membedakan tiga bagian kesabaran, yaitu sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menerima cobaan.

Sabar dalam melaksanakan ketaatan itu biasa, dan bisa dilakukan semua orang, termasuk orang-orang awam. Melaksanakan shalat lima waktu salah satu sujud kesabaran. Tanpa kesabaran tidak mungkin shalat lima waktu dapat dilaksanakan secara utuh, telaten, dan konsisten.

Sabar menjauhi maksiat oleh banyak orang dirasakan lebih berat. Bersabar untuk tidak melakukan maksiat dalam keadaan diri sedang normal, ada keinginan, ada kesempatan dan peluang, dan ada jaminan rasa aman dari segala segi, lantas menolak melakukan maksiat itu, maka termasuk amal istimewa.

Kesabarannya sudah melampaui rata-rata kesabaran orang banyak. Itulah sebabnya orang seperti ini mendapatkan janji (reward) dari Allah SWT berupa tempat peristirahatan di bawah naungan Arsy di Padang Makhsyar mengerikan itu.

Sabar dalam menjalani musibah, terutama musibah yang bersifat permanen seperti penyakit kronis, cacat seumur hidup, baik melanda dirinya ataupun anggota keluarga terdekatnya, lantas tetap ia bersabar dan tak bergeming sedikit pun. Ia menerima secara sukarela musibah itu dengan penuh keridhaan terhadap Allah SWT, maka orang ini disebut mashabir.

Jenis-jenis kesabaran juga ditemukan pembagian lebih rigid, yaitu sabar untuk Allah SWT (al-shabr li Allah), sabar terhadap Allah (al-shabr fi Allah), sabar bersama Allah (al-shabr ma’a Allah), sabar berjauhan dengan Allah (al-shabr ‘an Allah), dan sabar dengan Allah (al-shabr bi Allah).

Ada lagi yang membedakan antara al-shabr fihi yang merupakan hak Allah; al-shabr bih, yang merasakan kebaqaan dan kefanaan di dalam dirinya; al-shabr ma’ahu yaitu yang sudah merasakan dirinya sudah seperti mayat; dan al-shabr ‘anhu, yaitu orang yang merasakan dirinya bagaikan sesuatu yang hanyut di sungai, pasrah ke mana pun sungai itu akan membawanya. Dalam buku-buku tasawuf perbedaan ini dijelaskan secara rigid dan rinci. Bagi orang awam membayangkan perbedaan istilah ini saja sulit.

Pada tingkat manapun, kita semua sudah harus memulai menapaki apa yang disebut dengan al shabr. Orang tidak akan mungkin sampai ke puncak pencarian tanpa menjalani kesabaran. Dari artikel ini kita bisa mengukur diri kita, sesungguhnya kita berada di derajat kesabaran yang mana. Yang jelas kita harus bisa memulai menjalani latihan kesabaran dari sekarang.

Janji Tuhan bagi orang yang sabar ialah innallah ma’as shabirin (sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar). Kesabaran mengundang keajaiban. Orang yang tidak memiliki kesabaran tidak akan merasakan keajaiban hidup. Dan orang seperti ini, siapa pun dia, hidupnya pasti gersang, kering, dan hambar. Wallahua’lam.

#republika online ( http://www.republika.co.id )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar