translated to :

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Kamis, 02 Februari 2012

Mahmud Syaltut, Pelopor Penerapan Tafsir Tematis

Dalam hal kebebasan beragama, ia melihat hal itu sebagai hal yang harus dijamin dalam Islam. Manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dia adalah salah seorang ulama dan pemikir Islam yang pernah menjadi Rektor Universitas Al-Azhar Mesir. Syaltut dikenal pula sebagai pelopor penggunaan metode tafsir tematis, yakni metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya guna memahami pesan Alquran terutama untuk menjawab permasalahan manusia di abad modern ini. Syaltut dilahirkan tahun 1893 di Desa Maniyah, Bani Mansur Provinsi Bukhairah, Mesir. Sejak kecil Syaltut telah memperlihatkan keinginan yang besar dalam ber-tafaquh fid diin (belajar Islam). Pendidikannya dimulai di kampung halamannya dengan menghafal Alquran pada seorang ulama setempat. Pada tahun 1906, ketika menginjak usia 13 tahun, ia mulai pendidikan formalnya dengan masuk Ma'had Al Iskandariah. Studinya ini dirampungkan setelah ia mendapat Syahadah 'Alamiyah an-Nizamiyyah (setingkat ijazah S-1) pada tahun 1918. Kemudian tahun 1919, Syaltut mengajar di almaternya. Bersamaan dengan itu terjadi gerakan revolusi rakyat Mesir melawan kolonial Inggris. Ia ikut berjuang melalui ketajaman pena dan kepiawaian lisannya. Dari almamaternya Syaltut lalu pindah ke Al-Azhar. Selain sebagai pengajar, di institusi pendidikan tertua di dunia ini, ia menjabat beberapa jabatan penting, mulai dari penilik pada sekolah-sekolah agama, wakil dekan Fakultas Syariah, pangawas umum kantor lembaga penelitian dan kebudayaan Islam Al Azhar, wakil syekh Azhar, sampai akhirnya pada tanggal 13 Oktober 1958 diangkat menjadi syekh Azhar (pimpinan tertinggi Al-Azhar). Syekh Mahmud Syaltut merupakan sosok yang selalu menggeluti dunianya dengan aktivitas keagamaan, ilmu pengetahuan, kemasyarakatan, dan juga perjuangan politik. Tidak mengherankan ketika masih muda, ia sudah dikenal dan dianggap sebagai seorang ahli fikih besar, pembaharu masyarakat, penulis yang hebat, seorang khatib yang hebat dengan penyampaian bahasa yang mudah dipahami, argumentasi yang rasional, dan pemikiran yang bijak. Hal ini dibuktikan ketika pada tahun 1937, Syaltut diutus Majelis Tertinggi Al-Azhar untuk mengikuti muktamar tentang Alqanun al Dauli al Muqaran (Perbandingan Hukum Internasional) di Den Haag, Belanda. Dalam muktamar itu, ia sempat mempresentasikan pemikirannya, tentang relevansi syariah Islam yang mampu berdinamika dengan perkembangan zaman. Tahun 1941 ia menyampaikan sebuah risalah tentang 'Pertanggungjawaban Sipil dan Pidana dalam Syariat Islam' (Al-Mas'uliyah al-Madaniyah wa al-Jina'iyyah fi asy-syariah al-Islamiyah). Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik sehingga secara aklamasi Syaltut diangkat menjadi anggota termuda Majelis Ulama-ulama Besar. Setahun kemudian Syaltut mengemukakan pandangannya mengenai perbaikan Universitas Al-Azhar dalam bidang kebahasaan. Lantas sebagai realisasi dari harapannya ini pada tahun 1946 dibentuklah lembaga bahasa dan dia diangkat menjadi salah seorang anggotanya. Tahun 1950 ia juga diangkat menjadi pengawas umum pada bagian penelitian dan kebudayaan Islam di Universitas al-Azhar. Kesempatan ini dia pergunakan sebaik-baiknya untuk meletakkan dasar-dasar pembinaan lembaga ini, terutama guna membina hubungan kebudayaan Mesir dengan kebudayaan Arab dan dunia Islam. Dalam kaitan ini, ia pernah menjadi penasehat Muktamar Islam di bawah pemerintahan Republik Persatuan Arab (federasi Suriah dan Mesir antara tahun 1958-1961). Hingga pada tanggal 21 Oktober 1958, Syaltut terpilih menjadi Rektor Universitas al-Azhar yang ke-41. Dan sebagai rektor, kini dia memiliki peluang untuk merealisasikan cita-cita maupun pemikirannya demi memajukan universitas tersebut. Upaya yang ditempuh antara lain dengan memindahkan Institut Pembacaan Alquran ke dalam Masjid al-Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah keislaman. Ini sekaligus mengembalikan fungsi al-Azhar sebagai pusat kajian Alquran bagi seluruh umat secara bebas tanpa terikat jam pelajaran dan ujian. Selain menjabat selaku rektor di universitas terkemuka, Mahmud Syaltut pun memangku jabatan penting sebagai anggota Badan Tertinggi untuk Hubungan-hubungan Kebudayaan dengan Luar Negeri pada Kementerian Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Dia pun pernah menjadi anggota Dewan Tertinggi untuk Penyiaran Radio Mesir, anggota Badan Tertinggi untuk Bantuan Musim Dingin serta ketua Badan Penyelidikan Adat dan Tradisi pada Kementerian Sosial Mesir. Dalam percaturan intelektual, Syaltut dikenal sebagai tokoh dan cendekiawan yang memiliki tipologi seorang mujtahid dan mujaddid dengan pemikiran Islam moderat dan fleksibel. Itu bisa dilihat terutama dalam pandangannya mengenai relasi antaragama, hukum Islam, pluralisme, dan ragam aliran pemikiran dalam Islam. Dalam masalah kebebasan beragama misalnya, Syaltut melihat bahwa hal itu sesuatu yang mesti dan dijamin dalam Islam. Manusia, katanya, mempunyai kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya. Dengan kemampuan akal dan amal yang diperbuatnya, derajat manusia akan makin dekat dengan sang Khalik. Dalam upaya kontekstualisasi Islam, Syaltut mencoba merumuskan suatu konsep yang memudahkan umat Islam. Formulasi itu secara ringkas dapat dijelaskan dalam pandangannya, bahwa Islam sebagai sebuah ajaran tidak pernah tertinggal oleh dinamika zaman dan karenanya akan selalu kontekstual dengan masa. Baginya, Islam adalah syariah yang karenanya manusia akan menemukan kedamaian dan kesejahteraan hidup. "Islam memberikan tempat yang luas sekali kepada kita untuk menerjemahkannya bukan dalam konteks ideologis semata, tetapi juga sebuah nilai hidup. Islam memberikan kebebasan berpikir manusia untuk memahami agamanya sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya," ujarnya dalam Islam Aqidah wa Syariah. Syaltut dikenal pula dengan salah satu karyanya menyangkut penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita yakni Alquran wa al-Mar'ah, sehingga dia dipandang sebagai salah seorang pelopor tafsir maududi (tafsir tematis) atau metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan Alquran guna menjawab problema manusia abad modern. Dalam kaitan pemikiran keyakinan, Syaltut melihat bahwa substansi akidah Islam adalah keimanan, baik iman kepada adanya pencipta maupun terhadap apa yang akan diciptakan oleh sang Pencipta. Kalimat syahadat, paparnya, adalah bentuk perjanjian keimanan manusia dan pernyataan ideologis manusia kepada Tuhan-nya yang satu dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Dengan syahadat ini, akan membuka hati dan pikiran manusia untuk memahami Islam lebih dalam dan luas. Untuk mencari kebenaran Tuhan, menurut Syaltut, manusia harus menyadari bahwa ada sesuatu yang harus diketahuinya hanya sebatas untuk tahu, dan ada sesuatu yang diketahuinya dan memang harus diamalkannya. Syaltut menjelaskan, untuk memperoleh kebenaran itu manusia harus melalui pendekatan rasional dan irasional. Ulama dan tokoh kharismatik ini meninggal dunia pada tanggal 19 Desember 1963. Pengabdian dan sumbangsihnya dalam memajukan Universitas Al-Azhar maupun dalam pemikiran keislaman akan selalu dikenang dan dijadikan pedoman guna mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya umat Islam pada masa kini dan mendatang.
( yus/berbagai sumber )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar