KORUPSI
“Si Jamrud
Khatulistiwa”
Oleh :
M. Afif Zulqa'idah
KORUPSI
“Si Jamrud
Khatulistiwa”
I.
Pendahuluan
Latar Belakang
Penentuan judul “KORUPSI “Sang Jamrud Khatulistiwa”” melalui
tahap seleksi dari penulis. Melalui proses pemilahan kata, akhirnya penulis
menetapkan judul diatas sebagai judul yang baik dan tepat untuk makalah ini.
Topik Bahasan
Makalah
ini adalah sebagai pendeskripsian tentang korupsi serta bagaimana
cara
untuk mengatasi korupsi.
Tujuan
Melalui
makalah ini, penulis akan mendeskripsikan kepada pembaca apa yang tim penulis
tahu tentang korupsi.
Selain
itu, makalah ini juga bisa dijadikan referensi oleh pembaca untuk melengkapi
tugas kuliah atau meraih masa depan yang bebas dari korupsi.
II.
Pembahasan
Korupsi berasal dari bahasa latin ‘corruptio’
(Fokema Andrea:1951) atau
corruptus (Webster Student Dictionary:1960.
Dan dalam bahasa latin yang lebih
tua disebut corrumpere.
Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian
(S.Wijowasito-WJS Purwadarminta:1976)
Menurut Muhammad Ali:1993,
pengertian korupsi dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Korup
yang berarti busuk, yaitu suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan
untuk kepentingan sendiri
2.
Korupsi
artinya perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok
3.
Koruptor
artinya orang yang melakukan korupsi
Berdasarkan kenyataan diatas, perbuatan
korupsi menyangkut sesuatu yang
bersifat amoral, sifat dan keadaan busuk,
menyangkut jabatan instansi atau
apartur pemerintah, penyelewengan kekuasaan
dalam jabatan karena
pemberian, menyangkut faktor ekonomi dan
politik dan penempatan keluarga
atau golongan kedalam kedinasan dibawah
kekuasaan jabatan.
III.
Isi
Setelah kita mengetahui
apa itu korupsi dengan seksama, maka selanjutnya adalah tahap perkenalan lebih
jauh terhadap korupsi.
Menurut KPK (2006) bentuk
korupsi ada 7 macam, yakni:
1.
Kerugian
Uang Negara
2.
Suap
Menyuap
3.
Penggelapan
dalam Jabatan
4.
Pemerasan
5.
Perbuatan
Curang
6.
Benturan
Kepentingan dalam Pengadaan
7.
Gratifikasi
Jenis tindak pidana
korupsi berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1.
Melawan
hukum untuk memperkaya diri dan merugikan orang keuangan negara
2.
Menyalahgunakan
kewenangan untuk kepentingan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara
3.
Menyuap
pegawai negeri
4.
Memberi
hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5.
Pegawai
negeri menerima suap
6.
Pegawai
negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7.
Menyuap
hakim
8.
Menyuap
advokat
9.
Hakim
dan advokat menerima suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang atau
membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri memalsukan buku untuk
pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri merusakkan bukti
13. Pegawai negeri membiarkan orang lain
merusakkan bukti
14. Pegawai negeri memeras
15. Pegawai negeri memeras pegawai yang
lain
16. Pemborong berbuat curang
17. Pengawas proyek membiarkan perbuatan
curang
18. RekananTNI/POLRI membiarkan perbuatan curang
19. Pengawas rekanan TNI/POLRI mebiarkan
perbuatan curang
20. Penerima barang TNI/POLRI mebiarkan
perbuatan curang
21. Pegawai negeri menyerovbot tanah
negara sehingga merugikan orang lain
22. Pegawai negeri turut serta dalam
pengadaan yang diurusnya
23. Pegawai negeri menerima gratifikasi
dan tidak lapor KPK
24. Merintangi proses pemeriksaan
25. Tersangka tidak memberikan keterangan
tentang kekayaannya
26. Bank yang tidak memberikan keterangan
atau memberi keterangan palsu
27. Orang yang memegang rahasia jabatan
tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
28. Saksi yang membuka identitas pelapor
Penyebab korupsi ada 2
faktor, yakni:
a.
Faktor
internal
1.
Aspek
perilaku individu à
tamak, moral yang kurang kuat, gaya hidup yang konsumtif
2.
Aspek
sosial
b.
Faktor
eksternal
1.
Aspek
sikap masyarakat terhadap korupsi
2.
Aspek
ekonomi
3.
Aspek
politis
4.
Aspek
organisasi
Pencegahan
dan upaya pemberantasan korupsi
Konsistensi
keluarbiasaan korupsi harus konsisten
dilaksanakan. Berikut adalah 10 langkah pemberantasan korupsi extra ordinary:
Pertama,
Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian
menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.
Kedua,
untuk menjadi baju hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi.
Presiden memang sudah mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan
Korupsi. Bentuk hukum Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih
dilihat sebagai kejahatan biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan
hanya dengan baju hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk
menegaskan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan
cara-cara luar biasa pula. Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah
“kegentingan yang memaksa”. Maka dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan
negara sudah dalam keadaan genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra
ordinary tidak mungkin ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan
yang memaksa” menurut putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden
untuk menentukannya, yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka,
mengeluarkan Perpu Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
Ketiga,
di dalam perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua
reformasi: birokrasi dan peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi
masih sangat lamban. Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah
berpuluh tahun menjadi penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya
pemberantasan korupsi tidka akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi
birokrasi secara lebih akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari
birokrasi tingkat tinggi harus lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi
birokrasi tingkat bawahnya. Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan.
Memberantas korupsi tanpa memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang
bolong. Korupsi hanya bisa dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law
enforcement yang efektif tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih
terkontaminasi judicial corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai
untuk menghabisi praktik nista mafia peradilan.
Keempat,
konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud
pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan
melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum
yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula
intergitas moralitas yang terjaga.
Kelima,
untuk langkah represif penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah
memadukan cara quick wins dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti
tak terbantahkan (hard evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah
kemenangan cepat; pemberantasan harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi
sudah menjamah seluruh ruas kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan
korupsi by greed harus menjadi target prioritas, dibanding korupsi by need.
Keenam,
sejalan dengan pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan
korupsi karena keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan
korupsi harus diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga.
Istana adalah ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan
masa lalu; Senjata adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan;
serta pengusaha naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.
Ketujuh,
pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi
korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker
korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.
Kedelapan,
pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak
hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi
serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
Kesembilan,
semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat
(strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga
dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat
komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini
sendiri.
Kesepuluh,
akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan
budaya zero tollerance to corruption.
Daftar
Pustaka
Ir.
Primi Artiningrum, M. Arch. , DR. Augustina Kurniasih, ME. , DR. Ir.
Arissetyanto Nugroho, MM. 2013. Etika dan Perilaku Profesional Sarjana. Graha
Ilmu. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar