translated to :

English French German Spain Italian Dutch

Russian Brazil Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Translate Widget by Google

Sabtu, 28 Januari 2012

Fatwa Qardhawi: Hukum Donor Organ Tubuh Ketika Masih Hidup

REPUBLIKA.CO.ID, Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya?

Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu diperhatikan d isini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah: "... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu..." (QS An-Nur: 33)

Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila seorang Muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang Muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum Muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya. Bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini—menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini—menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.

Di dalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang Muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang Muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu? Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi, "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi, "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."

Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar. Sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.

Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.

Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang di bawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.

Fatwa Qardhawi: Hukum Wanita Memandang Laki-Laki






REPUBLIKA.CO.ID, Di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja.

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu." (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki? Kemaluan adalah aurat mughalladzah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladzah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan shalat.

Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum Muslimin berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.

Perlu diingat bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas. Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah. Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktek kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.

Adapun masalah wanita melihat laki-laki, maka dalam hal ini terdapat dua riwayat. Pertama, ia boleh melihat laki-laki asal tidak pada auratnya. Kedua, ia tidak boleh melihat laki-laki melainkan hanya bagian tubuh yang laki-laki boleh melihatnya. Pendapat ini yang dipilih oleh Abu Bakar dan merupakan salah satu pendapat di antara dua pendapat Imam Syafi'i.

Hal ini didasarkan pada riwayat Az-Zuhri dari Ummu Salamah, yang berkata, "Aku pernah duduk di sebelah Nabi SAW, tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum meminta izin masuk. Kemudian Nabi saw bersabda, 'Berhijablah kamu daripadanya. 'Aku berkata, wahai Rasulullah, dia itu tuna netra.' Beliau menjawab dengan nada bertanya, 'Apakah kamu berdua (Ummu Salamah dan Maimunah) juga buta dan tidak melihatnya?" (HR Abu Daud dan lain-lain)

Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu. Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya. Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).

Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Bahkan kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.

Nabi SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais, "Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu." (Muttafaq alaih)

Aisyah berkata, "Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (olahraga) dalam masjid." (Muttafaq alaih)

Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhutbah shalat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.

Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Oleh sebab itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Firman Allah: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya." (QS An-Nur: 30-31)

Memang benar bahwa wanita dapat membangkitkan syahwat laki-laki lebih banyak daripada laki-laki membangkitkan syahwat wanita, dan memang benar bahwa wanita lebih banyak menarik laki-laki, serta wanitalah yang biasanya dicari laki-laki. Namun semua ini tidak menutup kemungkinan bahwa di antara laki-laki ada yang menarik pandangan dan hati wanita karena kegagahan, ketampanan, keperkasaan, dan kelelakiannya, atau karena faktor-faktor lain yang menarik pandangan dan hati perempuan.

Al-Qur'an telah menceritakan kepada kita kisah istri pembesar Mesir dengan pemuda pembantunya, Yusuf, yang telah membuatnya dimabuk cinta. Lihatlah, bagaimana wanita itu mengejar-ngejar Yusuf, dan bukan sebaliknya, serta bagaimana dia menggoda Yusuf untuk menundukkannya seraya berkata, "Marilah ke sini." Yusuf berkata, "Aku berlindung kepada Allah." (QS An-Nur: 23)

Apabila seorang wanita melihat laki-laki lantas timbul hasrat kewanitaannya, hendaklah ia menundukkan pandangannya. Janganlah ia terus memandangnya, demi menjauhi timbulnya fitnah, dan bahaya itu akan bertambah besar lagi bila si laki-laki juga memandangnya dengan rasa cinta dan syahwat.

Akhirnya, untuk mendapat keselamatan, lebih baik kita menjauhi tempat-tempat dan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan bahaya. Kita memohon kepada Allah keselamatan dalam urusan agama dan dunia. Amin.

Fatwa Qardhawi: Hukum Laki-Laki Memandang Wanita


REPUBLIKA.CO.ID, Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan, bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan. Sebagaimana firman-Nya: "Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui." (QS Yasin: 36)

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah." (QS Adz-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini, manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya, begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi (tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam dan istrinya: "... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Baqarah: 35)

Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan—sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum Nasrani.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan akhirat?

"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain..." (QS At-Taubah: 71)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini—berkenaan dengan kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan—bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif. Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan (perkawinan) dan reproduksi, sehingga terpeliharalah kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.


Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan. Kami menguatkan pendapat jumhur ulama yang menafsirkan firman Allah: "...Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) tampak daripadanya..." (QS An-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah "wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan (menurut pendapat Abu Hanifah dan Al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Oleh sebab itu, ada ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan".

Dan bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang yang dilarang ini, "Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya bertemu."

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan (bahu), dan sebagainya, tidak diperbolehkan bagi selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan, seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya. Demikian pula pembuktian tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila terdapat petunjuk petunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Oleh karena itu, Nabi SAW pernah memalingkan muka anak pamannya yang bernama Fadhl bin Abbas, agar tidak melihat wanita Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat Fadhl berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fadhl bertanya kepada Rasulullah SAW, "Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?"

Beliau menjawab, "Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, maka aku tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati nurani si Muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa, baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya, fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat (kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang menyimpang.

Jadi, memandang itu hukumnya boleh dengan syarat jika tidak dibarengi dengan upaya "menikmati" dan bersyahwat. Jika dengan menikmati dan bersyahwat, maka hukumnya haram. Karena itu, Allah menyuruh kaum mukminah menundukkan sebagian pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki menundukkan sebagian pandangannya.

Allah SWT berfirman: "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pendangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya." (QS An-Nur: 30-31)

Fatwa Qardhawi: Fitnah dan Suara Wanita

REPUBLIKA.CO.ID, Sebenarnya tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita, memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.

Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan tanggungjawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk perempuan, yakni Adam dan istrinya.

Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur'an maupun sunnah, yang mengatakan bahwa wanita (Hawa) yang menjadi penyebab diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan menjadi penyebab penderitaan anak cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan Al-Qur'an menegaskan bahwa Adam-lah orang pertama yang dimintai pertanggungjawaban. (Surat Thaha: 115-122).

Namun sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang telah ditetapkan syara'. Padahal syariat Islam sendiri telah menempatkan wanita pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan, sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai ibu.

Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur'an selalu menyejajarkan Muslim dengan Muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman, wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan seterusnya. Sebagaimana disinyalir dalam Kitab Allah.

Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak boleh wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab suara dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat. Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka tidak dapat menunjukkannya.

Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya kepada istri-istri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah istri-istri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada istri-istri yang lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka?

Namun demikian, Allah berfirman: "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir..." (QS Al-Ahzab: 53)

Permintaan atau pertanyaan—dari para sahabat—itu sudah tentu memerlukan jawaban dari Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi). Mereka biasa memberi fatwa kepada orang yang meminta fatwa, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang ingin mengambil hadits mereka.

Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW di hadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya. Bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri seraya berkata, "Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada Umar."

Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua (Nabi Syu'aib) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an: "... Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami..." (QS Al-Qashash: 25)

Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa, ketika Musa bertanya kepada mereka:"... Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)? Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (QS Al-Qashash: 23)

Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman AS dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki. Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana pendapat yang terpilih.

Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh Al-Qur'an diistilahkan dengan "al-khudhu bil-qaul" (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS Al-Ahzab: 32)

Allah melarang "khudhu", yakni cara bicara yang bisa membangkitkan nafsu orang-orang yang hatinya "berpenyakit". Namun dengan ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki. Perhatikan ujung ayat dari surat di atas: "Dan ucapkanlah perkataan yang baik"

Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah. Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita."

Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits di atas mereka artikan dengan "wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan ketakutan." Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji dengan musibah.

Allah berfirman: "... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)..." (QS Al-Anbiya: 35)

Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak—yang merupakan kenikmatan hidup dunia dan perhiasannya—sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman Allah: "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)..." (QS At-Taghabun: 15)

"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan..." (QS Al-Anfal: 28)

Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan serta masyarakat rusak.

Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita di sini seperti peringatan untuk berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih: "Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka dahulu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq Alaih)

Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah SAW hendak menyebarkan kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran.

Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda, "Bagus nian harta yang baik bagi orang yang baik." (HR Ahmad dan Al-Hakim)

Dengan hadits di atas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi dan masyarakat Muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa mereka sadari.

Fatwa Qardhawi: Hukum Berduaan dengan Tunangan

Khitbah (meminang, melamar, bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara', bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar ke sana.

Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan akad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.

Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika membicarakan wanita yang kematian suami. "Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah) itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis 'iddahnya." (QS Al-Baqarah: 235)

Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits, "Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya." (Muttafaq Alaih)

Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal (ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.

Selama akad nikah—dengan ijab dan kabul—ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.

Menurut ketetapan syara', yang sudah dikenal bahwa lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya, maka ia berkewajiban memberi mahar kepada isterinya separuh harga.

Allah berfirman, "Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (QS Al-Baqarah: 237)

Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang telah melakukan akad nikah.

Karena itu, yang sudah mampu, hendaklah segera melaksanakan akad nikah dengan wanita tunangannya itu. Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah. Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui batas yang halal dan melakukan yang haram.

Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir. Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat dan lebih utama.

"...Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim." (QS Al-Baqarah: 229)

"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS An Nur: 52) REPUBLIKA.CO.ID

Fatwa Qardhawi: Hak Istri atas Suami

Syariat mewajibkan kepada suami untuk memenuhi kebutuhan istrinya yang berupa kebutuhan material seperti nafkah, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan sebagainya, sesuai dengan kondisi masing-masing, atau seperti yang dikatakan oleh Al-Qur'an "bil ma'ruf" (menurut cara yang ma'ruf/patut).

Namun syariat tidak pernah melupakan akan kebutuhan-kebutuhan spiritual yang manusia tidaklah bernama manusia kecuali dengan adanya kebutuhan-kebutuhan tersebut, sebagaimana kata seorang pujangga kuno: "Maka karena jiwamu itulah engkau sebagai manusia, bukan cuma dengan badanmu."

Bahkan Al-Qur'an menyebut perkawinan ini sebagai salah satu ayat di antara ayat-ayat Allah di alam semesta dan salah satu nikmat yang diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Firman-Nya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (QS Ar Rum: 21)

Ayat ini menjadikan sasaran atau tujuan hidup bersuami istri ialah ketenteraman hati, cinta, dan kasih sayang antara keduanya, yang semua ini merupakan aspek kejiwaan, bukan material. Tidak ada artinya kehidupan bersuami istri yang sunyi dari aspek-aspek maknawi ini, sehingga badan berdekatan tetapi ruh berjauhan.

Dalam hal ini banyak suami yang keliru—padahal diri mereka sebenarnya baik—ketika mereka mengira bahwa kewajiban mereka terhadap istri mereka ialah memberi nafkah, pakaian, dan tempat tinggal, tidak ada yang lain lagi. Dia melupakan bahwa wanita (istri) itu bukan hanya membutuhkan makan, minum, pakaian, dan lain-lain kebutuhan material, tetapi juga membutuhkan perkataan yang baik, wajah yang ceria, senyum yang manis, sentuhan yang lembut, ciuman yang mesra, pergaulan yang penuh kasih sayang, dan belaian yang lembut yang menyenangkan hati dan menghilangkan kegundahan.

Imam Ghazali mengemukakan sejumlah hak suami istri dan adab pergaulan di antara mereka yang kehidupan berkeluarga tidak akan dapat harmonis tanpa semua itu. Di antara adab-adab yang dituntunkan oleh Al-Qur'an dan Sunnah itu ialah berakhlak yang baik terhadapnya dan sabar dalam menghadapi godaannya.

Allah berfirman: "... Dan gaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma'ruf (patut)..." (QS An Nisa': 19)

"... Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat." (QS An Nisa': 21)

"... Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu..." (QS An Nisa': 36)

Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan "teman sejawat" dalam ayat di atas ialah istri. Imam Ghazali berkata, "Ketahuilah bahwa berakhlak baik kepada mereka (istri) bukan cuma tidak menyakiti mereka, tetapi juga sabar menerima keluhan mereka, dan penyantun ketika mereka sedang emosi serta marah, sebagaimana diteladankan Rasulullah SAW. Istri-istri beliau itu sering meminta beliau untuk mengulang-ulangi perkataan, bahkan pernah ada pula salah seorang dari mereka menghindari beliau sehari semalam.

Beliau pernah berkata kepada Aisyah, "Sungguh, aku tahu kalau engkau marah dan kalau engkau rela."

Aisyah bertanya, "Bagaimana engkau tahu?"

Beliau menjawab, "Kalau engkau rela, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Muhammad,' dan bila engkau marah, engkau berkata, 'Tidak, demi Tuhan Ibrahim.'

Aisyah menjawab, "Betul, (kalau aku marah) aku hanya menghindari menyebut namamu."

Dari adab yang dikemukakan Imam Ghazali itu dapat ditambahkan bahwa disamping bersabar menerima atau menghadapi kesulitan istri, juga bercumbu, bergurau, dan bermain-main dengan mereka, karena yang demikian itu dapat menyenangkan hati wanita. Rasulullah SAW biasa bergurau dengan istri-istri beliau dan menyesuaikandiri dengan pikiran mereka dalam bertindak dan berakhlak, sehingga diriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan perlombaan lari cepat dengan Aisyah.

Umar bin Al-Khathab—yang dikenal berwatak keras itu—pernah berkata, "Seyogianya sikap suami terhadap istrinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada di sisinya (keadaan yang sebenarnya) maka dia adalah seorang laki-laki."

Dalam menafsirkan hadits: "Sesungguhnya Allah membenci alja'zhari al-jawwazh," dikatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang bersikap keras terhadap istri (keluarganya) dan sombong pada dirinya. Dan ini merupakan salah satu makna firman Allah: 'utul. Ada yang mengatakan bahwa lafal 'utul berarti orang yang kasar mulutnya dan keras hatinya terhadap keluarganya.

Keteladanan tertinggi bagi semua itu ialah Rasulullah SAW. Meski bagaimanapun besarnya perhatian dan banyaknya kesibukan beliau dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan agama, memelihara jamaah, menegakkan tiang daulah dari dalam dan memeliharanya dari serangan musuh yang senantiasa mengintainya dari luar, beliau tetap sangat memerhatikan para istrinya. Beliau adalah manusia yang senantiasa sibuk berhubungan dengan Tuhannya seperti berpuasa, shalat, membaca Al-Qur'an, dan berdzikir, sehingga kedua kaki beliau bengkak karena lamanya berdiri ketika melakukan shalat lail, dan menangis sehingga air matanya membasahi jenggotnya.

Namun sesibuk apa pun beliau tidak pernah melupakan hak-hak istri-istri beliau yang harus beliau penuhi. Jadi aspek-aspek Rabbani tidaklah melupakan beliau terhadap aspek insani dalam melayani mereka dengan memberikan makanan ruhani dan perasaan mereka yang tidak dapat terpenuhi dengan makanan yang mengenyangkan perut dan pakaian penutup tubuh.

Dalam menjelaskan sikap Rasulullah dan petunjuk beliau dalam mempergauli istri, Imam Ibnu Qayyim berkata, "Sikap Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya ialah bergaul dan berakhlak baik kepada mereka. Beliau pernah menyuruh gadis-gadis Anshar menemani Aisyah bermain. Apabila istrinya (Aisyah) menginginkan sesuatu yang tidak terlarang menurut agama, beliau menurutinya. Bila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau ambil bejana itu dan beliau minum daripadanya pula dan beliau letakkan mulut beliau di tempat mulut Aisyah tadi (bergantian minum pada satu bejana/tempat), dan beliau juga biasa makan kikil bergantian dengan Aisyah."

Beliau biasa bersandar di pangkuan Aisyah, beliau membaca Al-Qur'an sedang kepala beliau berada di pangkuannya. Bahkan pernah ketika Aisyah sedang haidh, beliau menyuruhnya memakai sarung, lalu beliau memeluknya. Bahkan pernah juga menciumnya, padahal beliau sedang berpuasa.

Di antara kelemah-lembutan dan akhlak baik beliau lagi ialah beliau memperkenankan istrinya untuk bermain dan mempertunjukkan kepadanya permainan orang-orang Habsyi ketika mereka sedang bermain di masjid, dia (Aisyah) menyandarkan kepalanya ke pundak beliau untuk melihat permainan orang-orang Habsyi itu. Beliau juga pernah berlomba lari dengan Aisyah dua kali, dan keluar dari rumah bersama-sama.

Sabda Nabi SAW, "Sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku."

Apabila selesai melaksanakan shalat Ashar, Nabi senantiasa mengelilingi (mengunjungi) istri-istrinya dan beliau tanyakan keadaan mereka, dan bila malam tiba beliau pergi ke rumah istri beliau yang pada waktu itu mendapat giliran. Aisyah berkata, "Rasulullah SAW tidak melebihkan sebagian kami terhadap sebagian yang lain dalam pembagian giliran. Dan setiap hari beliau mengunjungi kami semuanya, yaitu mendekati tiap-tiap istri beliau tanpa menyentuhnya, hingga sampai kepada istri yang menjadi giliran beliau, lalu beliau bermalam di situ."

Kalau kita renungkan apa yang telah kita kutip di sini mengenai petunjuk Nabi SAW tentang pergaulan beliau dengan istri-istri beliau, kita dapati bahwa beliau sangat memerhatikan mereka, menanyakan keadaan mereka, dan mendekati mereka. Tetapi beliau mengkhususkan Aisyah dengan perhatian lebih. Namun ini bukan berarti beliau bersikap pilih kasih, tetapi karena untuk menjaga kejiwaan Aisyah yang beliau nikahi ketika masih perawan dan karena usianya yang masih muda.

Beliau menikahi Aisyah ketika masih gadis kecil yang belum mengenal seorang laki-laki pun selain beliau. Kebutuhan wanita muda seperti ini terhadap laki-laki lebih besar dibandingkan dengan wanita janda yang lebih tua dan telah berpengalaman. Yang kami maksudkan dengan kebutuhan di sini bukan sekadar nafkah, pakaian, dan hubungan biologis saja. Bahkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya lebih penting dan lebih dalam daripada semua itu. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita lihat Nabi SAW selalu ingat aspek tersebut dan senantiasa memberikan haknya serta tidak pernah melupakannya meskipun tugas yang diembannya besar, seperti mengatur strategi dakwah, membangun umat, dan menegakkan daulah.

"Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat teladan yang bagus bagi kamu."

Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya. REPUBLIKA.CO.ID

Fatwa Qardhawi: Hubungan Seksual Suami-Istri

Sebenarnya, masalah hubungan antara suami-istri itu pengaruhnya amat besar bagi kehidupan mereka. Maka hendaknya mereka memerhatikan atau menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan kerusakan dan kelangsungan hubungan suami-istri. Kesalahan yang bertumpuk dapat mengakibatkan kehancuran bagi kehidupan keluarganya.

Agama Islam dengan nyata tidak mengabaikan segi-segi kehidupan manusia dan kehidupan berkeluarga, yang telah diterangkan tentang perintah dan larangannya. Semua telah tercantum dalam ajaran-ajaran Islam, misalnya mengenai akhlak, tabiat, suluk, dan sebagainya. Tidak ada satu hal pun yang diabaikan (dilalaikan).

Islam telah menetapkan pengakuan bagi fitrah manusia dan dorongannya akan seksual, serta ditentangnya tindakan ekstrim yang condong menganggap hal itu kotor. Oleh karena itu, Islam melarang bagi orang yang hendak menghilangkan dan memfungsikannya dengan cara menentang orang yang berkehendak untuk selamanya menjadi bujang dan meninggalkan sunnah Nabi SAW, yaitu menikah.

Nabi SAW telah menyatakan sebagai berikut: "Aku lebih mengenal Allah daripada kamu dan aku lebih khusyuk, kepada Allah daripada kamu. Tetapi aku bangun malam, tidur, berpuasa, tidak berpuasa dan menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak senang (mengakui) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku."

Islam telah menerangkan terhadap kedua pasangan setelah pernikahan, mengenai hubungannya dan masalah-masalah seksual. Bahkan mengerjakannya dianggap suatu ibadat.

Sebagaimana dikatakan Nabi SAW, "Di kemaluan kamu ada sedekah (pahala)." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah ketika kami bersetubuh dengan istri akan mendapat pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya. Andaikata bersetubuh pada tempat yang dilarang (diharamkan) itu berdosa. Begitu juga dilakukan pada tempat yang halal, pasti mendapat pahala. Kamu hanya menghitung hal-hal yang buruk saja, akan tetapi tidak menghitung hal-hal yang baik."

Berdasarkan tabiat dan fitrah, biasanya pihak laki-laki yang lebih agresif, tidak memiliki kesabaran dan kurang dapat menahan diri. Sebaliknya wanita itu bersikap pemalu dan dapat menahan diri.

Karenanya diharuskan bagi wanita menerima dan menaati panggilan suami. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits, "Jika si istri dipanggil oleh suaminya karena perlu, maka supaya segera datang, walaupun dia sedang masak." (HR Tirmidzi)

Nabi SAW menganjurkan supaya si istri jangan sampai menolak kehendak suaminya tanpa alasan, yang dapat menimbulkan kemarahan atau menyebabkannya menyimpang ke jalan yang tidak baik, atau membuatnya gelisah dan tegang.

Nabi SAW bersabda, "Jika suami mengajak tidur si istri lalu dia menolak, kemudian suaminya marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat dia sampai pagi." (Muttafaq Alaih).

Keadaan yang demikian itu jika dilakukan tanpa uzur dan alasan yang masuk akal, misalnya sakit, letih, berhalangan, atau hal-hal yang layak. Bagi suami, supaya menjaga hal itu, menerima alasan tersebut, dan sadar bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi hamba-hamba-Nya Yang Maha Pemberi Rezeki dan Hidayat, dengan menerima uzur hambaNya. Dan hendaknya hamba-Nya juga menerima uzur tersebut.

Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa. Nabi SAW bersabda, "Dilarang bagi si istri (puasa sunnah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (Muttafaq Alaih)

Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam. Beliau bersabda, "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak."

Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fiqih dan tasawuf, dalam kitab Ihya' mengenai adab bersetubuh, berkata, "Disunnahkan memulainya dengan membaca basmalah dan berdoa, sebagaimana diajarkan Nabi SAW, "Ya Allah, jauhkanlah aku dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku."

Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan bersetubuh) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."

Menurut Ibnul Qayyim, tujuan utama dari jimak (bersetubuh) itu adalah: 1) Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah. 2) Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus. 3) Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.

Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.

Nabi SAW bersabda, "Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu melaksanakan pernikahan, maka hendaknya menikah. Sesungguhnya hal itu menundukkan penglihatan dan memelihara kemaluan."

Kemudian Ibnul Qayyim berkata, "Sebaiknya sebelum bersetubuh hendaknya diajak bersenda-gurau dan menciumnya, sebagaimana Rasulullah SAW melakukannya."

Ini semua menunjukkan bahwa para ulama dalam usaha mencari jalan baik tidak bersifat konservatif. Bahkan tidak kalah kemajuannya daripada penemuan-penemuan atau pendapat masa kini.

Yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa sesungguhnya Islam telah mengenal hubungan seksual di antara kedua pasangan, suami-istri, yang telah diterangkan dalam Alquranul Karim pada surah Al-Baqarah, yang ada hubungannya dengan peraturan keluarga.

Firman Allah SWT: "Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa, bercampur dengan istri-istri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu, Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah kamu, hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya..." (QS Al-Baqarah: 187).

Tidak ada kata yang lebih indah, serta lebih benar, mengenai hubungan antara suami-istri, kecuali yang telah disebutkan, yaitu: "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." (QS Al-Baqarah: 187)

Pada ayat lain juga diterangkan, yaitu: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah: Haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu dengan cara bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan takwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang beriman." (QS Al-Baqarah: 222-223)

Maka, semua hadis yang menafsirkan bahwa dijauhinya yang disebut pada ayat di atas, hanya masalah persetubuhan saja. Selain itu, apa saja yang dapat dilakukan, tidak dilarang.

Pada ayat di atas disebutkan: "Maka, datangilah tanah tempat bercocok tanammu dengan cara bagaimanapun kamu kehendaki." (QS Al-Baqarah: 223)

Tidak ada suatu perhatian yang melebihi daripada disebutnya masalah dan undang-undang atau peraturannya dalam Alquranul Karim secara langsung, sebagaimana diterangkan di atas. REPUBLIKA.CO.ID

Fatwa Qardhawi: Hal yang Membatalkan Keislaman Seseorang

Setiap manusia, apabila telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia menjadi orang Islam. Baginya wajib dan berlaku hukum-hukum Islam, yaitu beriman akan keadilan dan kesucian Islam. Wajib baginya menyerah dan mengamalkan hukum Islam yang jelas, yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Tidak ada pilihan baginya menerima atau meninggalkan sebagian. Dia harus menyerah pada semua hukum yang dihalalkan dan yang diharamkan, sebagaimana arti (maksud) dari ayat berikut: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka ..." (QS. Al-Ahzab: 36).

Perlu diketahui bahwa ada diantara hukum-hukum Islam yang sudah jelas menjadi kewajiban-kewajiban, atau yang sudah jelas diharamkan (dilarang), dan hal itu sudah menjadi ketetapan yang tidak diragukan lagi, yang telah diketahui oleh umat Islam pada umumnya. Yang demikian itu dinamakan oleh para ulama: "Hukum-hukum agama yang sudah jelas diketahui."

Misalnya, kewajiban shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal itu termasuk rukun-rukun Islam. Ada yang diharamkan, misalnya membunuh, zina, melakukan riba, minum khamar dan sebagainya.

Hal itu termasuk dalam dosa besar. Begitu juga hukum-hukum pernikahan, talak, waris dan qishash, semua itu termasuk perkara yang tidak diragukan lagi hukumnya.

Barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari hukum-hukum tersebut, menganggap ringan atau mengolok-olok, maka dia menjadi kafir dan murtad. Sebab, hukum-hukum tersebut telah diterangkan dengan jelas oleh Alquran dan dikuatkan dengan hadis-hadis Nabi SAW yang shahih atau mutawatir, dan menjadi ijma' oleh umat Muhammad SAW dari generasi ke generasi. Maka, barangsiapa yang mendustakan hal ini, berarti mendustakan Alquran dan As-Sunnah.

Mendustakan (mengingkari) hal-hal tersebut dianggap kufur, kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam (mualaf) dan jauh dari sumber informasi. Misalnya, berdiam di hutan atau jauh dari kota dan masyarakat kaum Muslimin. Setelah mengetahui ajaran agama Islam, maka berlaku hukum baginya. REPUBLIKA.CO.ID

Fatwa Qardhawi: Bahaya Mengafirkan Seorang Muslim

Setiap orang yang berikrar dan mengucapkan syahadat telah dianggap Muslim. Hidup (jiwa) dan hartanya terlindung. Dalam hal ini tidak diharuskan (tidak perlu) meneliti batinnya.

Menghukumi (menganggap) seseorang bahwa dia kafir, hukumnya amat berbahaya dan akibat yang akan ditimbulkannya lebih berbahaya lagi, di antaranya ialah:
1. Bagi istrinya, dilarang berdiam bersama suaminya yang kafir, dan mereka harus dipisahkan. Seorang wanita Muslimah tidak sah menjadi istri orang kafir.
2. Bagi anak-anaknya, dilarang berdiam di bawah kekuasaannya, karena dikhawatirkan akan mempengaruhi mereka. Anak-anak tersebut adalah amanah dan tanggungjawab orang tua. Jika orang tuanya kafir, maka menjadi tanggungjawab umat Islam.
3. Dia kehilangan haknya dari kewajiban-kewajiban masyarakat atau orang lain yang harus diterimanya, misalnya ditolong, dilindungi, diberi salam, bahkan dia harus dijauhi sebagai pelajaran.
4. Dia harus dihadapkan ke muka hakim, agar djatuhkan hukuman baginya, karena telah murtad.
5. Jika dia meninggal, tidak perlu diurusi, dimandikan, dishalati, dikubur di pemakaman Islam, tidak diwarisi dan tidak pula dapat mewarisi.
6. Jika dia meninggal dalam keadaan kufur, maka dia mendapat laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Dengan demikian, dia akan kekal dalam neraka.

Demikianlah hukuman yang harus dijatuhkan bagi orang yang menamakan atau menganggap golongan tertentu atau seseorang sebagai orang kafir; itulah akibat yang harus ditanggungnya.

Maka, sekali lagi amat berat dan berbahaya mengafirkan orang (Muslim) yang belum jelas kekafirannya. REPUBLIKA.CO.ID

Fatwa Qardhawi: Benarkah Nabi Khidir Masih Hidup?

Al-Khidir adalah hamba yang saleh dan disebutkan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Kahfi, yaitu sebagai teman Nabi Musa AS, di mana Nabi Musa belajar kepadanya.

Al-Khidir mensyaratkan kepadanya agar bersabar. Maka Musa menyanggupinya. Al-Khidir berkata, "Bagaimana kamu dapat bersabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

Al-Khidir adalah seorang hamba yang diberi rahmat oleh Allah dan ilmu dari sisi-Nya. Musa terus berjalan bersamanya dan melihat Al-Khidir telah melubangi perahu. Maka Musa berkata, "Apakah engkau melubanginya supaya penumpangnya tenggelam?" Cerita selanjutnya telah disebutkan dalam Surat Al-Kahfi.

Musa merasa heran atas perbuatannya, hingga Al-Khidir menerangkan kepadanya sebab-musabab dari perbuatan yang dilakukan itu. Pada akhir pembicaraannya, Al-Khidir berkata, "Bukanlah aku melakukan itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah penjelasan dari perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat bersabar atasnya." Maksudnya, semua perbuatan itu hanyalah karena kemauan Allah SWT.

Sebagian orang berkata tentang Al-Khidir, "Ia hidup sesudah Musa hingga zaman Isa, kemudian zaman Nabi Muhammad SAW, ia sekarang masih hidup, dan akan hidup hingga Kiamat."

Orang-orang menulis kisah-kisah, riwayat-riwayat dan dongeng-dongeng bahwa Al-Khidir menjumpai si Fulan dan memakaikan kirqah (pakaian) kepada si Fulan dan memberi pesan kepada si Fulan.

Sama sekali tidak adil pendapat yang mengatakan bahwa Al-Khidir masih hidup—sebagaimana anggapan sementara orang—tetapi sebaliknya, ada dalil-dalil dari Al-Qur'an, sunah, akal dan ijma diantara para ulama dari umat ini bahwa Al-Khidir sudah tiada.

Saya anggap cukup dengan mengutip keterangan dari kitab Al-Manaarul Muniif fil Haditsish Shahih wa adh-Dha'if karangan Ibnul Qayyim. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitab itu ciri-ciri dari hadis maudlu, yang tidak diterima dalam agama. Diantara cirinya ialah "hadis-hadis yang menceritakan tentang Al-Khidir dan kehidupannya." Semuanya adalah dusta. Tidak satu pun hadis yang shahih.

Di antara hadis maudlu itu ialah hadis yang berbunyi, "Bahwa Rasulullah SAW sedang berada di masjid, ketika itu beliau mendengar pembicaraan dari arah belakangnya. Kemudian beliau melihat, ternyata ia adalah Al-Khidir."

Juga hadis, "Al-Khidir dan Ilyas berjumpa setiap tahun." Dan hadis, "Jibril, Mikail dan Al-Khidir bertemu di Arafah."

Ibrahim Al-Harbi ditanya tentang umur Al-Khidir yang panjang dan bahwa ia masih hidup. Maka beliau menjawab "Tidaklah ada yang memasukkan paham ini kepada orang-orang, kecuali setan."

Imam Bukhari ditanya tentang Al-Khidir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka ia menjawab, "Bagaimana hal itu terjadi?" Nabi saw telah bersabda, "Tidaklah akan hidup sampai seratus tahun lagi bagi orang-orang yang berada di muka bumi ini." (HR Bukhari-Muslim).

Banyak imam lainnya yang ketika ditanya tentang hal itu, maka mereka menjawab dengan menggunakan Alquran sebagai dalil: "Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal?" (QS. Al-Anbiyaa': 34).

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang hal itu, maka ia menjawab, "Andaikata Al-Khidir masih hidup, tentulah ia wajib mendatangi Nabi SAW dan berjihad bersamanya, serta belajar darinya."

Jika Al-Khidir itu manusia, maka ia tidak akan kekal, karena hal itu ditolak Alquranul Karim dan sunah yang suci. Seandainya ia masih hidup, tentulah ia datang kepada Nabi SAW. Nabi SAW telah bersabda, "Demi Allah, andaikata Musa masih hidup, tentu ia akan mengikuti aku." (HR Ahmad).

Jika Al-Khidir seorang Nabi, maka ia tidak lebih utama daripada Musa AS. Dan jika seorang wali, tidaklah ia lebih utama daripada Abu Bakar RA. Apakah hikmahnya sehingga ia hidup hingga kini—sebagaimana anggapan orang-orang—di padang luas, gurun dan gunung-gunung? Apakah faedahnya syar'iyah maupun akliah di balik ini?

Sesungguhnya orang-orang selalu menyukai cerita-cerita ajaib dan dongeng-dongeng fantastis. Mereka menggambarkannya menurut keinginan mereka, sedangkan hasil dari imajinasinya, mereka gunakan sebagai baju keagamaan. Cerita ini disebarkan diantara sebagian orang awam dan mereka menganggapnya berasal dari agama mereka, padahal sama sekali bukan dari agama. Hikayat-hikayat yang diceritakan tentang Al-Khidir hanyalah rekayasa manusia dan tidak diturunkan oleh Allah hujjah untuk itu.

Adapun mengenai pertanyaan, apakah ia seorang Nabi atau wali? Para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Tampaknya yang lebih tepat Al-Khidir adalah seorang Nabi, sebagaimana tercantum pada ayat yang mulia dari Surat Al-Kahfi, "... dan bukanlah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri..." (QS. Al-Kahfi: 82).

Perkataan itu adalah dalil bahwa ia melakukan itu berdasarkan perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya. Lebih tepatnya Al-Khidir adalah seorang Nabi bukan wali. REPUBLIKA.CO.ID

Mendorong Anak Mencintai Alquran

Banyak cara mendorong anak gemar membaca dan mencintai Alquran. Salah satunya, seperti yang dilakukan Penerbit Sygma Publishing yang menerbitkan "My First Al-Qur'an", Alquran pertama buat si kecil.

Berbeda dengan kebanyakan Alquran yang hanya merangkum ayat-ayat suci Alquran lengkap 30 juz bersama terjemahnya, Alquran buat si kecil yang diberi nama My First Al-Qur'an ini menyuguhkan beragam informasi yang sangat layak diketahui anak-anak. Mulai dari jejak rasul, materi doa, materi tokoh-tokoh Islam, materi tempat bersejarah lengkap dengan petanya, kamus dalam tiga bahasa: Arab, Ingris dan Indonesia serta materi tambahan berupa 'Sekarang Aku Tahu'.

Sesuai dengan sasaran buku yang terdiri dari empat jilid yang diperuntukkan bagi anak-anak, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sangat sederhana dan mudah dicerna dan difahami. Tak hanya itu, berbagai informasi yang menarik tersebut dilengkapi dengan gambar-gambar berwarna yang sangat menarik.

Penggunaan kertas pun dipilih yang sangat lux dengan kualitas terbaik. ''Syamil Al-Qur'an for Kids kali ini menghadirkan "My First Al-Qur'an" yang akan membantu putra-putri Anda begitu dekat dengan Alquran. Ini memang upaya kami untuk mendorong putra-putri Anda mencintai Alquran sejak dini,'' ujar Marketing Executive PT Sygma Publishing, Harry.

Selain bisa membaca Alquran dan belajar ilmu Tajwid dengan baik, My First Al-Qur'an juga mengajak anak-anak Muslim untuk menghapal doa, mengetahui tokoh-tokoh Islam dan tempat-tempat bersejarah, serta belajar bahasa.

Selain seru, tentu My First Al-Qur'an sangat menyenangkan, karena dilengkapi dengan gambar-gambar lucu dan menarik. Diharapkan My First Al-Qur'an ini akan menjadi jembatan interaksi buah hati kita dengan Alquran, serta menjadikan Alquran sebagai sahabat dalam kehidupannya.

Setiap halamannya, selain berisi 'Terjemah', 'Bahasa', 'Jejak Rasul', 'Tokoh Islam' dan 'Peta', juga dilengkapi informasi 'Sekarang Aku Tahu'. Misalnya, seperti yang tertulis di halaman 2 dengan gambar menarik dan berwarna, seorang ustadz tengah mengajar para muridnya membaca huruf Hijaiyah.

Dalam informasi bertajuk 'Sekarang Aku Tahu; tertulis Surat Al-Fatihah adalah surat yang paling utama. Rasulullah saw sendiri menyebutnya sebagai surat yang paling agung. Surah yang pendek ini, mencakup akidah, syariah atau ibadah dan akhlak. Surah Al-Fatihah selalu dibaca dalam shalat, baik shalat fardhu mau pun sunah. Selain sebagai Ummul Qur'an, Al-Fatihah berarti surah pembukaan. Surat ini bukan yang pertama diturunkan, namun surat ini menjadi pembuka Alquran. Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat dan diturunkan di Makkah. REPUBLIKA.CO.ID

Judul buku : My First Al Qur'an
Penulis : Indra Laksana, Muchaeroni, Syamsu Ar-Ramly, Usman Syamily
Penerbit : PT Sugma Publishing
Cetakan Pertama : 2010, 4 Jilid

Mintalah Fatwa pada Hatimu

Rasulullah SAW pernah menegaskan, “Istafti qalbak, mintalah fatwa pada hatimu! Kebaikan adalah sesuatu yang menenangkan hati dan keburukan adalah sesuatu yang menggelisahkan hati.”
Hati adalah sumber cahaya batin, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. Seorang Mukmin sejati hatinya hidup, terjaga, dan dilimpahi cahaya.

Buku yang ditulis oleh Al-Hakim At-Tirmidzi (205-320 H) ini mengulas psikologi hati berikut empat lapisannya. Tiap lapisan terhubung dengan salah satu cahaya Allah. Dada (shadr)—lapisan luar—terhubung dengan cahaya Islam, hati (qalb) terhubung dengan cahaya iman, hati lebih dalam (fu’ad) terhubung dengan cahaya makrifat, sementara lubuk hati (lubb) terhubung dengan cahaya tauhid.

“Berbagai cahaya di atas ibarat gunung. Islam adalah gunung yang berada di shadr. Iman adalah gunung yang bertempat di hati. Makrifat adalah gunung yang terletak di fu’ad. Dan tauhid adalah gunung yang bersemayam di lubb,” jelas Tirmidzi.

Penulis menegaskan, empat lapisan itu juga berkaitan dengan empat kedudukan hamba—Muslim, Mukmin, ahli makrifat, dan ahli tauhid—dan empat kondisi nafs (jiwa) yang disebutkan dalam Alquran: nafs yang memerintahkan keburukan (ammarah bi al-suu’), nafs yang terilhami (mulhamah), nafs yang suka menyesali diri (lawwaamah), dan nafs yang tenteram (muthmainnah).

Setelah membahas tentang shadr, qalb, fu’ad, lubb, dan cahaya-cahaya hati, penulis kemudian menyajikan rampai perumpamaan kondisi hati. Puluhan perumpamaan tentang kondisi hati dapat menjadi sumber renungan bagi setiap orang yang membacanya.

Buku ini semakin lengkap dengan adanya dua artikel di penghubung buku, yakni “Lebih Dekat dengan Penulis” yang mengupas tentang tulisan dan pengaruh At-Tirmidzi dan “Latihan Membuka Hati” yang ditulis oleh Syekh Ragip Frager, seorang mursyid sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology, California.

Buku yang relatif tipis ini merupakan panduan yang sangat baik untuk mencerdaskan dada, hati, fu’ad, dan lubb. Karena itu, buku ini sangat perlu dibaca oleh setiap Muslim.  REPUBLIKA.CO.ID


Judul : Biarkan Hatimu Bicara
Penulis : Al-Hakim al-Tirmidzi
Penerbit : Zaman
Cetakan : I, 2011
Halaman : 232

Ini Alasan Guru Mengaji Wajib Punya Sertifikat

MAKASSAR -- Tak sembarang orang bisa mengajar mengaji di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di ibukota provinsi itu, setiap guru agama wajib mempunyai sertifikat mengajar sebagai salah satu syarat dalam mengaplikasikan ilmu di Taman Pendidikan Alquran (TPA).

"Ketentuan itu ada dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) bab lima pasal sembilan tentang Wajib Baca Tulis Alquran. Ada empat poin yang mengatur secara tegas kewajiban guru mengaji mempunyai sertifikat layak mengajar," kata Ketua Pansus Ranperda Baca Tulis Alquran, Mustagfir Sabry di Makassar, Rabu.


Pembahasan Ranperda tersebut kata dia, tengah digenjot, meskipun ada rencana perampungan pada 18 Januari mendatang, namun itu belum dipastikan sebab masih ada beberapa tahapan masih dilakukan penyelesaian.

"Kami masih akan melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh lintas agama serta organisasi kemasyarakatan. Belum lagi sosialisasi ke masyarakat terkait penerapan perda ini demi kelangsungan moral anak cucu kita ke depan," tambahnya.

Wakil Ketua Pansus Mudzakkir Ali Djamil menambahkan, perda ini akan diberlakukan mulai di tingkat SD hingga SMA dan semua siswa beragama Islam wajib bisa membaca dan menulis Alquran. Tidak sampai disitu, lembaga-lembaga yang mengeluarkan sertifikat layak mengajar akan diatur oleh Peraturan Wali Kota Makassar.

"Dengan adanya aturan sertifikasi itu TPA dapat lebih tertib dan menjadi motivasi bertambahnya TPA di Kota Makassar," ucap Ketua BKPRMI Makassar ini. Anggota pansus lain, Muh Iqbal Djalil mengatakan, kualifikasi guru mengaji harus sesuai untuk mendapatkan sertifikasi seperti hafalan dan tajwidnya.

"Perda tersebut lahir berdasar pada keprihatinan sebab masih banyak orang tidak bisa baca tulis Alquran secara baik dan benar, bisa saja di Gedung DPRD ini ada yang tidak bisa baca tulis Alquran," ucapnya. REPUBLIKA.CO.ID

Alhamdulillah, Rp 1,35 Miliar untuk Guru Mengaji

PAINAN - Guru-guru mengaji di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat dapat bernafas lega. PAsalnya, pemerintah kabupaten setempat mengalokasikan Rp 1,35 miliar untuk insentif 2.226 guru mengaji.

"Anggaran itu disediakan untuk memotivasi dan merangsang semangat para guru mengaji dalam mengabdikan diri membina generasi dengan nilai-nilai keagamaan sejak dini," kata Kepala Bagian (Kabag) Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Kabupaten Pesisir Selatan, Afrizal di Painan, Sabtu (28/1).

Dana tersebut diperuntukan untuk guru-guru mengaji yang aktif mengajar para santri di 12 kecamatan yang ada. Jumlah santri di kabupaten itu mencapai 60.875 orang.

Bantuan guru mengaji tersebut dikucurkan sekali tiga bulan dengan besaran per bulannya Rp 50 ribu per guru.Guru mengaji yang mendapat insentif adalah yang aktif mengajar di Taman Pendidikan Al Qur'an (TPA) atau Taman Pendidikan Seni Al Qur'an (TPSA) serta Madrasah Diniyyah Awaliyyah (MDA).

Jumlah TPA/TPSA dan MDA di kabupaten itu mencapai 1.500 unit yang tersebar di 890 masjid dan 652 mushala.

"Besaran bantuan terhadap guru mengaji memang berbeda antara yang mengajar di Pondok Al Quran dengan yang di TPA dan TPSA," kata Afrizal.

Menurut dia, perbedaan tersebut disebabkan banyaknya jumlah santri dan tenaga pengajar di Pondok Al Quran. Khusus tenaga pengajar di Pondok Al Quran, mendapat bantuan sebesar Rp 450 ribu per bulan untuk satu Pondok Al Quran.

Sedangkan jumlah Pondok Al Quran di Pesisir Selatan sebanyak 12 pondok. Setiap kecamatan terdapat satu pondok Al Quran dengan jumlah santri bervariasi.

Dia mengatakan, pemberian bantuan bagi guru mengaji ini sejalan dengan keseriusan pemkab setempat dalam melaksanakan pembangunan pilar agama, yakni melakukan pembinaan terhadap TPA/TPSA dan Pondok Al Quran.

Pembinaan-pembinaan tersebut, selalu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah setempat, karena TPA, TPSA dan Pondok Al Quran merupakan basis bagi penerus bangsa dalam menempa ilmu agama, dibandingkan di sekolah umum yang porsinya hanya sedikit.

"Pembangunan agama akan selalu menjadi perhatian serius Pemkab Pesisir Selatan dengan tetap bekerja sama dengan instansi terkait, seperti kantor Kementerian Agama setempat," katanya.

Melalui pendidikan agama sejak usia dini, diharapkan terwujud generasi muda dengan moralitas yang baik dan berkarakter sehingga dapat menggenjot berbagai sektor pembangunan yang sedang digalakkan pemerintah. REPUBLIKA.CO.ID

Jumat, 27 Januari 2012

Ummu Fadhl: Teladan Para Muslimah


REPUBLIKA.CO.ID,
Ia adalah salah seorang dari empat wanita yang keimanannya dipersaksikan oleh Rasulullah SAW. Muslimah yang sangat beruntung itu bernama Lubabah binti al-Haris bin Huzn bin Bajir bin Hilaliyah. Ia juga dikenal dengan nama Lubabah al-Kubra serta akrab dipanggil Ummu Fadhl.

Ummu Fadhl adalah istri dari Abbas, paman Rasulullah SAW. Ia dikaruniai enam orang anak yang mulia dan pandai. dan belum ada seorang wanita pun yang melahirkan laki-laki semisal mereka. Mereka adalah Fadhl, Abdullah al-Faqih, Ubaidullah al-Faqih, Ma'bad, Qatsam dan Abdurrahman.

‘’Tak pernah ada wanita mulia yang melahirkan dari bibit suaminya, baik yang hidup di pegunungan maupun di dataran rendah, sebagaimana enam anak yang terlahir dari rahim Ummul Fadhl,’’ ungkap Abdullah bin Yazid mengisahkan kemuliaan Ummu Fadhl.

Ummu Fadhl masuk Islam sebelum peristiwa hijrah. Ia adalah wanita pertama yang masuk Islam setelah Khadijah (Ummul Mukminin Rodhiallahu 'anha) sebagaimana yang dituturkan oleh putra beliau Abdullah bin Abbas RA, "Aku dan Ibuku adalah termasuk orang-orang yang tertindas dari wanita dan anak-anak. "

Ummu Fadhl termasuk wanita yang berkedudukan tinggi dan mulia di kalangan para wanita. Rasulullah SAW terkadang mengunjungi beliau dan terkadang tidur siang di rumahnya.

Ia juga dikenal sebagai seorang mujahidah yang pemberani. Ia bahkan berani memerangi Abu Lahab -- si musuh Allah SWT -- dan membunuhnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Ishak dari Ikrimah berkata, "Abu Rafi' budak Rasulullah SAW berkata, ‘’Aku pernah menjadi budak Abbas, ketika Islam datang maka Abbas masuk Islam disusul oleh Ummu Fadhl, namun Abbas masih disegani kaumnya."

Ketika pasukan tentara Quraisy dikalahkan dalam Perang Badar, Abu Rafi sempat disiksa oleh Abu Lahab ketika menjelaskan tentang kehebatan pasukan tentara Rasulullah SAW. ‘’Demi Allah itu adalah malaikat. Tiba-tiba Abu Lahab mengepalkan tangannya dan memukul aku dengan pukulan yang keras. Aku telah membuatnya marah, kemudian dia menarikku dan membantingku ke tanah, selanjutnya dia dudukkan aku dan memukuliku sedangkan aku adalah laki-laki yang lemah,’’ tutur Abu Rafi.

Melihat tindakan keji Abu Lahab itu, berdirilah Ummu Fadhl mengambil sebuah tiang dari batu kemudian dipukulkannya di kepada Abu Lahab, sehingga melukainya dengan parah. Ummu Fadhl lalu berkata, ‘’Kamu beraninya memukul orang lemah, ketika tak ada majikannya.’’ Abu Lahab pun terhina. Hanya berselang tujuh hari dari peristiwa itu, Abu Lahab mati karena penyakit bisul yang dideritanya.

Ummu Fadhl aadal sosok Muslimah yang pemberani. Ia Tak takut berhadapan dengan musuh-musuh Allah. Bahkan dengan keberaniannya, ia dapat menghantam serta meruntuhkan kesombongan dan kehormatan musuh-musuh Allah SWT.

Sejarah Islam mencatat Ummu Fadhl Rodhiallahu teladan bagi para Muslimah. Ibnu Sa'd dalam ath-Thabaqat al-Kubra, menyatakan bahwa Ummu Fadhl suatu hari bermimpi dengan suatu mimpi yang menakjubkan, sehingga ia bersegera untuk mengadukannya kepada Rasulullah SAW.

‘’Wahai Rasulullah saya bermimpi seolah-olah sebagian dari anggota tubuhmu berada di rumahku," tutur Ummu Fadhl. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Mimpimu bagus, kelak Fatimah melahirkan seorang anak laki-laki yang nanti akan engkau susui dengan susu yang engkau berikan buat anakmu (Qatsam)."

Tidak berselang lama Fatimah RA melahirkan Hasan bin Ali yang kemudian diasuh oleh Ummu Fadhl. Ia berkata, ‘’Suata ketika aku mendatangi Rasulullah dengan membawa Hasan, Rasulullah egera menggendong dan mencium bayi tersebut, namun tiba-tiba bayi tersebut mengencingi Rasulullah.’’

Lalu Nabi SAW bersabda, "Wahai Ummu Fadhl peganglah anak ini karena dia telah mengencingiku." Ummu Fadhl berkata, "Maka aku ambil bayi tersebut dan aku cubit sehingga dia menangis.’’

Ketika melihat bayi tersebut menangis, Rasulullah berkata, ‘’Wahai Ummu Fadhl justru engkau yang menyusahkanku karena telah membuat anakku menangis." Kemudian Rasulullah SAW meminta air dan dipercikkannya ke tempat yang terkena air kencing.

"Jika bayi laki-laki maka percikilah dengan air, akan tetapi apabila bayi wanita maka cucilah," sabda Rasulullah SAW. Ummu Fadhl pun termasuk Muslimah yang tutur berjasa meriwayatkan hadis. Ia mempelajari Hadis asy-Syarif dari Rasulullah. Ia meriwayatkan sebanyak tiga puluh hadis.

Sumayyah binti Khayyat: Syahidah Pertama Pembela Agama Allah

REPUBLIKA.CO.ID, Tauhidnya begitu teguh, sekeras baja. Cahaya iman di hatinya tak pernah redup. Ia rela darahnya tertumpah, demi membela Islam, agama yang diyakini kebenarannya. Sejarah Islam menorehkan namanya dengan tinta emas sejarah. Dialah Muslimah pertama yang gugur di jalan Allah.

Wanita mulia yang layak diteladani kaum hawa itu bernama Sumayyah binti Khayyat. Awalnya, Sumayyah hanyalah seorang hamba sahaya. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, ia bekerja kepada Abu Hudzaifah bin Al-Mughirah. Budi pekertinya yang baik membuat Abu Hudzaifah menikahkan Sumayyah dengan saudara angkatnya bernama Yasir, seorang pria dari Yaman.

Dari hasil pernikahan itu, pasangan Sumayyah dan Yasir dikaruniai seorang putra bernama Ammar. Kebahagian Sumayyah kian bertambah, ketika Abu Hudzaifah memerdekakan Ammar dari perbudakan. Setelah tuannya meninggal, keluarga Sumayyah hidup di bawah perlindungan Bani Makhzum sampai Ammar menginjak dewasa dan Sumayyah dan Yasir memasuki usia tua.

Hingga akhirnya, sebuah kabar gembira bagi seluruh umat manusia tiba. Seorang yang bernama Muhammad SAW datang membawa cahaya iman dan agama yang diridlai Allah SWT, yakni Islam. Muhammad adalah seorang Rasul yang membawa kabar gembira dan penyempurna akhlak manusia.

Kabar datangnya Nabi baru mengguncang seantero Makkah. Ada orang yang tertarik, namun lebih banyak lagi yang menolak. Ammar bin Yasir dengan rasa penasaran, kemudian mendatangi Rasulullah di rumah Arqom bin Arqom dan mendengarkan langsung wahyu yang diturunkan Allah SWT.

Ammar tahu betul sifat dan akhlak seorang Muhammad yang sangat tepuji. Ia langsung yakin dengan kebenaran firman Allah SWT yang disampaikan melalui Rasulullah SAW. Tanpa rasa ragu, Ammar mengucapkan ikrar syahadatnya dan menjadi seorang Muslim. Dengan penuh kegembiraan, Ammar menyampaikan kabar datangnya seorang Nabi itu kepada ibu dan ayahnya.

Cahaya iman ternyata menyinari hati Sumayyah dan Yasir. Keduanya kemudian mengikuti jejak sang anak bersyahadat dan menjadi Muslimah dan Muslim. Berbeda dengan keluarga Sumayyah, kebanyakan orang Quraisy justru sangat anti bahkan memusuhi Islam, ajaran yang dibawa Rasulullah SAW.

Pada awalnya, Sumayyah dan keluarganya menyembunyikan keimanan mereka terhadap Islam. Namun, tauhid yang disembunyikan rapat-rapat itu akhirnya diketahui juga. Mengetahui Sumayyah dan keluarganya telah masuk Islam, murkalah orang-orang musyrikin, terutama Bani Makhzum, yang selama ini melindungi mereka.

Teror dan siksaan mulai mendera mereka. Kaum musyrikin memaksa Umayyah bersama suami dan anaknya untuk melepas keyakinan. Posisi mereka yang rendah, membuat keluarga Sumayyah harus tabah menghadapi tekanan dan siksaan. Mereka hanya senantiasa memohon perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT.

Orang-orang Quraisy tanpa rasa iba menyiksan dan menyeret mereka di jalanan dan membawa mereka ke padang pasir di tengah terik matahari. Kaum kafir itu lalu memakaikan baju besi kepada mereka untuk menambah penderitaan Sumayyah. Setelah keringat mereka berhenti mengalir, tubuh mereka kering, dan darah mereka mulai bercucuran, mereka dipaksa untuk kembali murtad dari agama Islam dan dipaksa untuk menghina dan mencaci Rasulullah.

Kerasnya siksaan tak membuat iman mereka goyah. Hingga akhirnya, Abu Jahal turun tangan untuk menyiksa Sumayyah dan keluarganya. Tangan dan kaki mereka diikat lalu dilemparkan diatas kerikil tajam dan panas. Cambuk yang melukai tubuh mereka tak mampu melunturkan keyakinan mereka terhadap kebenaran Islam.

Di tengah siksaan yang kejam, Sumayyah dengan penuh keberanian justru menantang Abu Jahal, seorang pemimpin Quraisy yang ditakuti. Abu Jahal murka mendengar seorang perempuan menantangnya. Ia lalu membunuh Sumayyah dengan cara yang keji, demi menutupi rasa gengsinya, yang telah ditantang seorang perempuan.

Sumayyah pun gugur sebagai syahidah pertama. Ia adalah pahlawan Islam pertama yang meninggal, karena membela agama Allah. Rasulullah SAW pun secara khusus berdoa untuk keluarga Sumayyah. ''Bersabarlah keluarga Yasir. Sesungguhnya balasan kalian adalah surga,'' sabda Rasulullah SAW.

Ternyata peran wanita dalam membela Islam sungguh begitu besar. Sumayyah, sebagai orang ketujuh yang masuk Islam, berani mengorbankan nyawanya untuk membela kebenaran agama Allah. Sungguh, Sumayyah adalah Muslimah yang layak dijadikan panutan dan teladan. Namanya tetap dikenang sepanjang masa.

Ummu Sulaim: Kisah Wanita yang Paling Mulia Maharnya

REPUBLIKA.CO.ID Pada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang wanita yang cantik, cerdas dan berakhlak mulia. Dialah Ummu Sulaim yang bernama lengkap Ruimasha' Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Hiram bin Jundab bin 'Amir bin Ghanam bin 'Adie bin an-Najaar al-Anshariyah al-Khazrajiyah.

Berkat sifat-sifat yang agung, Ummu Sulaim dilamar Maalik Ibnu Nadhar. Buah pernikahan keduanya lahirlah seorang anak bernama Anas. Ummu Sulaim termasuk orang yang masuk Islam dari kalangan Anshar. Dengan penuh keyakinan, Ummu Sulaim tanpa ragu meninggalkan kebiasaan orang Jahiliyah dari menyembah berhala.

Tak mudah bagi Ummu Sulaim untuk memeluk Islam, agama yang paling benar dan diridhai Allah SWT. Suaminya adalah orang yang pertam menghadang laju keimanannya. Maalik sangat marah begitu isterinya telah masuk Islam. "Apakah engkau telah musyrik?" Ummu Sulaim menjawab dengan penuh keyakinan dan keteguhan, "Aku tidak musyrik tetapi aku telah beriman".

Ummu Sulaim membimbing anaknya, Anas untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, "Katakanlah Laa Ilaaha Illallah, dan katakanlah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah." Lalu Anas melakukannya. Melihat keadaan itu, Maalik berkata kepada Ummu Sulaim: "Janganlah merusak anakku".

Ummu Sulaim berkata, "Sesungguhnya aku tidak merusaknya akan tetapi aku mengajari dan membimbingnya." Suatu ketika, Maalik pergi menuju Syam. Di dalam perjalanannya ia bertemu dengan musuhnya. dan mati terbunuh. Mendengar kematian suaminya, ia berkata, "Aku tidak akan memberi Anas makanan sampai ia meninggalkan musim susuku (ASI)."

Ia kemudian berkata lagi, "Aku tidak akan menikah sampai Anas dewasa.'' Kebaikan Ummu Sulaim diungkapkan Anas bin Maalik pada sebuah majelis, "Semoga Allah membalas jasa baik ibuku yang telah berbuat baik padaku dan telah menjagaku dengan baik." Ummu Sulain menyerahkan si jantung hatinya, Anas, sebagai pelayan di sisi seorang pengajar manusia dengan segala kebaikan, yakni Rasulullah SAW.

Lalu Rasulullah menyambutnya hingga sejuklah kedua mata Ummu Sulaim. Hari terus berganti. Orang-orang pun memperbincangkan Anas bin Malik dan ibunya dengan penuh kekaguman dan penghormatan. Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu Thalhah, seorang hartawan di zaman itu.

Dengan penuh cinta dan kekaguman sehingga ia berusaha untuk meminang Ummu Sulaim. Abu Thalhah pun melamar Ummu Sulaim dengan mahar yang mahal sekali. Namun, lamaran itu ditolak Ummu Sulaim. "Tidak sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Thalhah, bahwa sesembahan kalian itu diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan. Sesungguhnya bila kalian menyalakan api padanya pastilah api itu akan membakarnya."

Terasa sempitlah dada Thalhah. Ia pun pergi dan hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar. Namun cintanya yang tulus membuat Thalhah kembali datang dengan mahar yang paling istimewa. Dengan harapan Ummu Sulaim bisa luluh dan mau menerimanya.

Sebagai da'iah yang cerdas, Ummu Sulaim tak silau dengan harta, kehormatan, dan kegagahan. Lalu ia berkata dengan santun, "Tidak pantas orang yang sepertimu akan ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang Muslimah yang tidak pantas bagiku untuk menikah denganmu."

Lalu Abu Thalhah berkata, "Itu bukan kebiasaanmu." Ummu Sulaim berkata, "Apa kebiasaanku?" Ia berkata, "Emas dan perak." Ummu Sulaim menjawab,"Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak, akan tetapi aku hanya inginkan darimu adalah 'Islam'."

Abu Thalhah lalu berkata, "Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?" Ummu Sulaim berkata, "Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah SAW." Pergilah Abu Thalhah menemui Nabi SAW. Ketika itu Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabatnya.

Saat melihat Abu Thalhah, Nabi SAW bersabda, "Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang nampak dari kedua bola matanya semangat keislaman." Lalu Abu Thalhah datang dan mengabarkan apa yang telah dikatakan oleh Ummu Sulaim terhadapnya. Abu Thalhah pun ahkhirnya menikahi Ummu Sulaim dengan mahar yang telah dipersyaratkannya, yakni Islam.

Tsabit seorang perawi hadits berkata, dari Anas RA, "Tidaklah aku mendengar ada seorang wanita yang lebih mulia maharnya dari pada Ummu Sulaim yang mana maharnya adalah al-Islam."

Al-Khansa: Ibu Para Syuhada

1
Pada masa Jahiliyah tersebutlah seorang penyair wanita ulung bernama al-Khansa. Syair-syairnya begitu memikat. Simaklah syiar ratapan terbaik yang pernah diciptakannya, sesaat setelah kematian saudaranya yang bernama Shakr:

"Air mataku terus bercucuran dan tak pernah mau membeku
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian Sakhr, sang dermawan
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian sang gagah berani
ketahuilah... mataku menangis
karena kepergian pemuda yang agung"

Al-Khansa bernama Tamadhar binti Amru bin al-Haris bin asy-Syarid. Cahaya Islam yang ditebarkan Rasulullah di Jazirah Arab telah mengetuk pintu kesadarannya. Bersama beberapa orang dari kaumnya, sang penyair menghadap Rasulullah SAW. Ia menyatakan keislamannya dan bertekad membangun aqidah tauhid.

Sang penyair pun menjadi seorang Muslimah yang baik. Ia pun menjadi salah seorang Muslimah teladan sekaligus figur yang cemerlang dalam keberanian dan kemuliaan diri. Al-Khansa menjadi teladan mulia bagi para ibu Muslimah.

Suatu ketika Rasulullah SAW memintanya bersyair. Pemimpin terbaik sepanjang zaman itu mengagumi bait-bait syair al-Khansa'. Ketika al-Khansa sedang bersyair, Rasulullah SAW berkata, "Aduhai, wahai Khansa, hariku terasa indah dengan syairmu."

Suatu ketika Adi bin Hatim dan saudarinya, Safanah binti Hatim datang ke Madinah dan menghadap Rasulullah SAW, mereka berkata, “Ya Rasulullah, dalam golongan kami ada orang yang paling pandai dalam bersyair dan orang yang paling pemurah hati, serta orang yang paling pandai berkuda.”

Rasulullah SAW bersabda, "Siapakah mereka itu. Sebutkanlah namanya." Adi menjawab, "Adapun yang paling pandai bersyair adalah Umru’ul Qais bin Hujr, dan orang yang paling pemurah hati adalah Hatim Ath-Tha’i, ayahku. Dan yang paling pandai berkuda adalah Amru bin Ma’dikariba."

Rasulullah SAW berkata, “Apa yang telah engkau katakan itu salah, wahai Adi. Orang yang paling pandai bersyair adalah Al-Khansa binti Amru, dan orang yang paling murah hati adalah Muhammad Rasulullah SAW, dan orang yang paling pandai berkuda adalah Ali bin Abi Thalib."

2
REPUBLIKA.CO.ID, Al-Khansa menikah dengan Rawahah bin Abdul Aziz As Sulami. Dari pernikahan itu ia mendapatkan empat orang anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan di bawah naungannya, keempat anak lelakinya ini telah menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang terkenal. Al-Khansa sendiri terkenal sebagai ibu dari para syuhada.

Ia adalah seorang ibu yang tegar. Al-Khansa telah berhasil mendidik keempat anaknya. Kelak keempat anak lelakinya gugur syahid di medan Qadisiyah. Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan yang sengit di rumah al-Khansa.

Keempat anaknya itu ingin turut berperang melawan tentara Persia. Mereka saling berdebat menentukan siapa yang harus tinggal di rumah mendampingi sang bunda. Perdebatan itu akhirnya sampai di telinga al-Khansa.

Ketika Mutsanna bin Haritsah asy-Syaibani berangkat ke Qadisiyah di masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab RA, al-Khansa akhirnya berangkat bersama keempat putranya untuk menyertai pasukan tersebut.

Di medan peperangan, sesaat dua para pasukan siap berperang, al-Khansa mengumpulkan keempat putranya. Ia memberikan petuah, bimbingan serta mengobarkan semangatjihad fi sabilillah dan buah hatinya tetap istiqamah berperang di jalan Allah dan mengharapkan syahid.

Dengan penuh ketegaran al-Khansa bertutur,'' “Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dengan ketaatan dan tanpa paksaan, kalian telah berhijrah dengan sukarela dan Demi Allah, tiada Illah selain Dia.'' Ia lalu melepas anak-anaknya dengan penuh haru dan ikhlas.

Hingga akhirnya, berita syahidnya empat bersaudara itu sampai di telinganya. Kesabaran dan keikhlasan tak membuatnya sedih ketika mendengar kabar itu. “Segala puji bagi Allah yang memuliakan diriku dengan syahidnya mereka, dan aku berharap kepada Rabb-ku agar Dia mengumpulkan diriku dengan mereka dalam rahmat-Nya”.

Umar bin Khattab paham betul keutamaan al-Khansa dan putra-putranya. Khalifah Umar senantiasa memberikan bantuan yang menjati jatah keempat anaknya kepada al-Khansa, hingga ibu para syuhada itu wafat. Al-Khansa meninggal dunia pada masa permulaan kekhalifahan Utsman bin Affan RA, pada tahun ke-24 Hijriyah. http://www.republika.co.id

Antara Al-Shabir, Al-Mashabir, dan Al-Shabur

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

1
Nabi Ayub AS adalah orang yang paling sabar di dalam Alquran. Ia dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit aneh. Sekujur tubuhnya hancur dan membusuk. Bukan hanya itu, luka di sekujur tubuhnya dikerumuni belatung.

Akibatnya, ia dipencilkan oleh masyarakat, termasuk oleh istri yang selama ini mendampinginya. Ia dibuang jauh di luar perkampungan di sebuah pegunungan. Ia hidup di dalam sebuah gua yang gelap dan sepi.

Di dalam gua itu Nabi Ayub menghabiskan waktunya seorang diri. Di dalam kesendiriannya inilah Nabi Ayub pernah bersumpah, seandainya Allah memberikan kesembuhan, maka niscaya ia akan menccambuk istrinya karena tega membuang dirinya di tempat yang sepi.

Suatu ketika, ia termenung dan memandangi belatung yang sedang menggerogoti tubuhnya. Ia tiba-tiba berubah pandangan terhadap belatung-belatung yang menggerogoti tubuhnya. Ia menjadikan belatung-belatung tersebut sebagai temannya.

Ia berujar, "Wahai para belatung, sahabatku, makanlah sepuas-puasnya dagingku karena kalian semua sekarang sudah menjadi sahabatku. Kalau hari-hari yang lampau kalian kuanggap musuhku, kemana-mana aku mencari tabib untuk memusnahkan kalian, maka sekarang satu-satunya yang bersedia menemaniku di kegelapan malam di dalam gua ini hanyalah kalian. Semua orang, termasuk anggota keluargaku, membuang aku di tempat yang jauh ini."

Konon, belatung yang terjatuh pada saat ia beribadah diangkat lagi naik ke badannya karena begitu sayangnya Nabi Ayub terhadap belatung itu. Belatung-belatung itu seperti menjadi binatang kesayangannya. Kalau dahulu gigitan belatung itu menyakitkan, kini ia tidak merasakan rasa sakit. Kalau dahulu ia jijik dan benci, kini ia menyukai dan menyayangi belatung itu. Ini menjadi pelajaran bahwa perubahan paradigma dan persepsi ternyata bisa memengaruhi perasaan seseorang. Dari rasa yang amat sakit menjadi berkurang sakitnya, bahkan mungkin menjadi kenikmatan tersendiri.

Setelah sekian lama Allah SWT menguji Nabi Ayub, maka suatu ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk melakukan sesuatu,"Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS. Shad: 42). Setelah Nabi Ayub memukulkan kakinya ke tanah, maka tiba-tiba muncratlah aliran air jernih dan sejuk dari bekas tumit Nabi Ayub.

Nabi Ayub minum dan mandi dari air itu dan tiba-tiba ia merasakan perubahan yang amat besar di dalam dirinya. Ia tidak menyaksikan lagi luka di dalam dirinya dan sahabat-sahabat belatungnya tiba-tiba menghilang entah kemana. Bahkan bekas-bekas luka pun tidak tampak pada diri Nabi Ayub. Ia lalu bersujud kepada Allah SWT dan bersyukur atas berakhirnya cobaan yang ia alami.

Peristiwa memancarnya air dari pukulan kaki mengingatkan kita pada Nabi Ismail yang juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba keluar mata air yang kini menjadi sumur Zamzam. Hanya bedanya, sumur Zamzam dirawat dengan baik. Sedangkan sumur Nabi Ayub yang terletak sekitar dua jam dari kota Damaskus, dekat dari makam Imim Al-Nawawi, pengarang kitab Riyadh al-Shalihin, tidak terurus dengan baik.



Ketika penulis berkunjung ke sumur ini, baru saja dipugar oleh seorang Kanada yang mengaku kakinya yang “korengan” tidak bisa sembuh, tiba-tiba sembuh setelah mencucinya dengan air sumur itu. Ia kembali ke kota kecil ini membangun tembok dan pagar di sekeliling sumur Ayub.

2

Ketika Nabi Ayub masuk kembali ke perkampungan di dalam kota dengan wajah tampan seperti semula, maka semua orang memujanya, termasuk istrinya. Namun, karena sudah terlanjur bersumpah akan mencabuk istrinya kalau ia kembali sembuh, maka ia diminta Allah SWT untuk menunaikan sumpahnya tanpa menimbulkan rasa sakit pada istrinya.

"Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya)." (QS. Shad: 44).

Yang menarik untuk diperhatikan dari kisah ini ialah, Allah SWT menyebut Nabi Ayub sebagai orang yang shabir, bukan mashabir, atau shabur. Di dalam Alquran ada tiga istilah yang sering digunakan Allah, yaitu shabir, mashabir, dan shabur.

Meskipun ketiga kata tersebut berasal dari akar kata yang sama (shabara), namun ketiganya membentuk makna berbeda satu sama lain. Kata shabir menunjukkan kepada orang yang sabar, tetapi kesabarannya masih temporer. Sewaktu-waktu masih bisa lepas kontrol sehingga kesabaran menjadi lenyap.

Sedangkan kata mashabir berarti orang yang sabar dan kesabarannya bersifat permanen. Kalau ada orang yang membatasi kesabaran dalam kurun waktu tertentu, seperti ungkapan “tapi kesabaran kan punya batas”, maka orang itu belum masuk kategori mashabir. Sedangkan shabur hanya berlaku untuk Allah SWT. Karena itu, salah satu sifat Allah yang ditempatkan dalam asma’ yang terakhir ialah al-Sabur.

Hanya Allah SWT yang dapat disebut shabur (setimbang fa’ul atau fa’il) yang tidak akan pernah mungkin dapat dilakukan oleh makhluknya. Seperti Al-Rahim (Maha Penyayang), Al-Hakim (Maha Bijaksana), Al-Halim (Maha Lembut), dll.

Allah SWT disebut Al-Shabur karena Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ulah dan tingkah laku hamba-Nya. Sekufur dan sezalim apa pun hambanya, Ia tetap tidak bergeming dan tetap bersedia untuk memaafkannya. Ini buktinya bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pengasih-Penyayang daripada Tuhan Maha Penyiksa dan Pendendam.

Nabi Ayub disebut shabir, menurut ulama tasawuf (isyari) karena ia menjalani ujian penderitaan itu hanya sebentar. Karena penderitaannya diubah menjadi kenikmatan. Bagi seorang Ayub, tidak peduli apakah itu shabir atau mashabir, yang penting ia menjalani kehidupan yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Yang Maha Pengatur.

3
Kalangan ulama membedakan tiga bagian kesabaran, yaitu sabar dalam melakukan ketaatan, sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan sabar dalam menerima cobaan.

Sabar dalam melaksanakan ketaatan itu biasa, dan bisa dilakukan semua orang, termasuk orang-orang awam. Melaksanakan shalat lima waktu salah satu sujud kesabaran. Tanpa kesabaran tidak mungkin shalat lima waktu dapat dilaksanakan secara utuh, telaten, dan konsisten.

Sabar menjauhi maksiat oleh banyak orang dirasakan lebih berat. Bersabar untuk tidak melakukan maksiat dalam keadaan diri sedang normal, ada keinginan, ada kesempatan dan peluang, dan ada jaminan rasa aman dari segala segi, lantas menolak melakukan maksiat itu, maka termasuk amal istimewa.

Kesabarannya sudah melampaui rata-rata kesabaran orang banyak. Itulah sebabnya orang seperti ini mendapatkan janji (reward) dari Allah SWT berupa tempat peristirahatan di bawah naungan Arsy di Padang Makhsyar mengerikan itu.

Sabar dalam menjalani musibah, terutama musibah yang bersifat permanen seperti penyakit kronis, cacat seumur hidup, baik melanda dirinya ataupun anggota keluarga terdekatnya, lantas tetap ia bersabar dan tak bergeming sedikit pun. Ia menerima secara sukarela musibah itu dengan penuh keridhaan terhadap Allah SWT, maka orang ini disebut mashabir.

Jenis-jenis kesabaran juga ditemukan pembagian lebih rigid, yaitu sabar untuk Allah SWT (al-shabr li Allah), sabar terhadap Allah (al-shabr fi Allah), sabar bersama Allah (al-shabr ma’a Allah), sabar berjauhan dengan Allah (al-shabr ‘an Allah), dan sabar dengan Allah (al-shabr bi Allah).

Ada lagi yang membedakan antara al-shabr fihi yang merupakan hak Allah; al-shabr bih, yang merasakan kebaqaan dan kefanaan di dalam dirinya; al-shabr ma’ahu yaitu yang sudah merasakan dirinya sudah seperti mayat; dan al-shabr ‘anhu, yaitu orang yang merasakan dirinya bagaikan sesuatu yang hanyut di sungai, pasrah ke mana pun sungai itu akan membawanya. Dalam buku-buku tasawuf perbedaan ini dijelaskan secara rigid dan rinci. Bagi orang awam membayangkan perbedaan istilah ini saja sulit.

Pada tingkat manapun, kita semua sudah harus memulai menapaki apa yang disebut dengan al shabr. Orang tidak akan mungkin sampai ke puncak pencarian tanpa menjalani kesabaran. Dari artikel ini kita bisa mengukur diri kita, sesungguhnya kita berada di derajat kesabaran yang mana. Yang jelas kita harus bisa memulai menjalani latihan kesabaran dari sekarang.

Janji Tuhan bagi orang yang sabar ialah innallah ma’as shabirin (sesungguhnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar). Kesabaran mengundang keajaiban. Orang yang tidak memiliki kesabaran tidak akan merasakan keajaiban hidup. Dan orang seperti ini, siapa pun dia, hidupnya pasti gersang, kering, dan hambar. Wallahua’lam.

#republika online ( http://www.republika.co.id )

Uni Eropa Tidak Akan Menang dalam Perang Minyak dengan Iran



Seorang anggota parlemen Iran menyatakan bahwa terjun ke medan perang minyak dengan Iran akan membuat negara-negara Uni Eropa bertekuk lutut mengingat Iran tidak akan mengekspor minyaknya ke Eropa bahkan setetes.



Sayyed Emad Hosseini, juru bicara parlemen Iran dari komisi energi Jumat (27/1) mengatakan, "Republik Islam Iran memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di dunia dan tidak dapat dihapus dari jajaran energi global."

Sayyed Hosseini mengatakan bahwa bermain dengan kekuatan minyak ketiga terbesar di dunia pasti akan mempengaruhi transaksi minyak serta gas internasional dan Eropa tidak akan kebal dari fluktuasi harga minyak.

Dikatakannya bahwa Majlis Iran sedang mempertimbangkan rencana untuk menghentikan ekspor minyak ke negara-negara anggota Uni Eropa yang pada tahap awal akan melumpuhkan perekonomian Italia, Spanyol dan Yunani.

"Iran [sebagai sebuah negara] kuat dan sanksi minyak yang diberlakukan negara-negara Eropa hanya akan merugikan mereka sendiri karena Iran dapat dengan mudah membuktikan supremasi minyaknya di kawasan Timur Tengah," katanya.

Hosseini menambahkan bahwa Eropa pasti akan kalah dalam perang minyak dengan Iran karena negara-negara Eropa saat ini sedang bergulat dengan berbagai masalah dalam negeri dan terganggunya suplai minyak dari Iran akan mengacu pada eskalasi tekanan domestik dan krisis di negara anggota Uni Eropa.

Pada sidang di Brussels pada 23 Januari lalu, para menteri luar negeri Uni Eropa mencapai kesepakatan untuk melarang impor minyak dari Iran, membekukan aset bank sentral negara itu dalam Uni Eropa, dan melarang penjualan berlian, emas dan logam berharga lainnya ke Iran. (IRIB Indonesia/MZ)